
Oleh: Firdaus Putra A.
Tidak seperti kemarin, Jumat ini saya memilih salat di masjid Darul Hikmah. Alasan teknisnya, karena sudah telat dan tidak berada di lingkungan kampus. Untung sampai sana salat belum di mulai. Khotib masih menyampaikan “pidato keagamaannya”.
Ada yang berbeda dengan Jumat-jumat sebelumnya. Kali ini banyak jamaah yang mengenakan pakaian hitam-putih berjas almamater UNSOED. Oh iya, mereka adalah mahasiswa baru 2008. Mungkin mereka sudah mulai memasuki masa pra-OSPEK. Buktinya, tali sepatu mereka berwarna merah-putih. Ada yang memakai tali rafia, pita, ada juga yang sengaja memadukan dua tali sepatu yang berbeda warna.
Selain itu, beberapa mahasiswa baru itu bersandal karet. Uniknya, setiap sandal berwarna putih. Beberapa sandal mereka terlihat seperti dicat putih. Karena warna dasar sandal yang sebenarnya biru. Namun ada juga sandal yang semuanya berwarna putih.
Seperti biasanya, saya memilih salat di luar ruangan. Artinya, jamaah akan salat di atas jalan aspal samping masjid. Baik kepepet atau tidak, saya lebih suka memilih di luar ruangan. Saya sangat menikmati ketika udara segar atau angin yang bertiup ketika sedang salat. Berbeda kalau di dalam, rasanya pengap, ruang pandang hanya itu-itu saja, monoton.
Namun ada juga tak enaknya, kalau banyak mobil (angkot) atau motor yang lewat di lapangan Grendeng sebelah jalan itu. Debu-debu beterbangan. Sedangkan saya, bisa dikatakan alergi debu. Melihat debu beterbangan saja saya merasa pengap. Apalagi kalau menghirupnya.
Siang itu ada peristiwa yang cukup menarik. Karena sebagian jamaah di luar ruang adalah mahasiswa baru, sebagian besar dari mereka tidak membawa sajadah atau alas untuk salat. Memang takmir masjid menyediakan tikar atau karpet. Namun tetap saja kurang.
Setelah iqomat disuarakan, bergegas masing-masing jamaah berdiri, mencari dan mengatur posisi. Ada beberapa mahasiswa baru itu yang tidak kebagian tempat. Di samping saya, ada seorang takmir masjid yang berinisiatif mengatur mereka. Bapak itu meminta kepada jamaah lain yang menggunakan sajadah untuk dirapatkan. Biasanya satu sajadah untuk satu orang. Berkat tindakan bapak tadi, dua sajadah untuk tiga orang. Tiga sajadah untuk empat orang.
Bapak itu masih mengatur ketika imam sudah mulai membaca surat Al Fatihah. Saat itu saya sudah takbir. Meski demikian, saya masih dapat menyaksikan bagaimana aksi bapak itu yang menyelamatkan seorang mahasiswa baru yang belum memperoleh tempat. Ia suruh mahasiswa itu untuk masuk di sela-sela sajadah dua jamaah di depan kami. dengan pengertian, meski sudah memasuki salat, dua orang itu merapatkan kakinya. Dan akhirnya si mahasiswa baru terselamatkan.
Bapak itu baru memasuki takbi ketika imam sudah membaca separoh surat Al Fatihah. Saya pikir, bapak itu sudah “mengorbankan” dirinya untuk menjadi juru shof yang menyelamatkan beberapa jamaah. Saat salat, saya berdegup kagum pada tindakan beliau. Terlepas dari salat saya sendiri khusyu’ atau tidak, saya berdoa semoga Tuhan membalas amal baiknya. []
0 comments :
Posting Komentar