
Oleh: Firdaus Putra A.
Kalau Anda bertanya, televisi (TV) mana yang paling nasionalis, saya akan jawab, TVRI. Kemarin malam saya mulai menyadari bahwa sajian program TV-TV selain TVRI cenderung monolitik-homogen. Hanya TVRI lah yang mengakomodasi perbedaan budaya melalui jaringan berita nasionalnya. Lihat saja, hanya di TVRI yang terdapat program pementasan kebudayaan daerah, drama. Juga hanya di TVRI yang menyuguhkan beberapa lagu daerah.
Sedangkan TV swasta lain, benar-benar sesuai dengan statusnya, swasta, isinya sekedar market oriented. Lebih dikhususkan lagi, market yang seakan-akan hanya pulau Jawa bahkan hanya Jakarta. Jarang atau bahkan saya tak pernah melihat TV swasta yang menyajikan drama daerah, misal Kalimantan, Sumatera, Irian, dan sebagainya. Padahal, mereka banyak menayangkan sinetron, ya, dengan berlatar belakang kota Jakarta, Bandung, Bogor, dan kota-kota yang melenakkan lainnya.
Beberapa hari yang lalu, saya mendengarkan siaran berita Pro 3 RRI. Saat itu sedang mengupas kualitas siaran TV swasta di Indonesia. Forum interaktif di buka, dari Jawa, Kalimantan, semuanya berpendapat bahwa kualitas siaran sangat buruk. Nilai-nilai edukasi merosot jauh. Yang ada TV terlalu banyak menyuguhkan hiburan (fungsi entertaint).
Saat itu ada satu stasiun TV dihadirkan sebagai panelis, TVOne. Pihak TVOne bercerita bahwa saat ini perusahaannya sedang membenahi (revolusi) kualitas siarannya. Memang benar, perubahan Lativi menjadi TVOne sangat bisa kita rasakan. Menurut pihak TVOne, mereka menyuguhkan 70% informasi-edukasi, dan hanya 30% menyuguhkan selected entertaint. Artinya porsi hiburan sangat kecil, meski kecil, mereka masih melakukan proses seleksi, mana-mana hiburan yang berkualitas, dan mana-mana yang tidak. Menurut mereka, program National Geoghrapic, talkshow, dan sebagainya adalah jenis hiburan yang sifatnya mencerdasakan.
Kalau boleh saya berpendapat, hari ini TV yang paling buruk siarannya yakni Indosiar. Saya merasakan ada perubahan dengan satu atau dua tahun yang lalu. Saat ini, Indosiar hanya menyajikan sinetron-sinteron—yang maaf—penggarapannya terkesan asal-asalan. Ada kesan bahwa sinetron itu sekedar pengisi program daripada sama sekali tidak ada program yang ditayangkan.
Meskipun demikian, ketika berbicara secara umum, masih banyak program dari berbagai TV yang sifatnya Jakarta sentris. Sekurang-kurangnya wilayah shooting terfokus di Jakarta. Isi atau muatan cerita khas Jakarta yang glamor, hedon, dan semacamnya. Ditambah para pemainnya yang rata-rata berbahasa Indonesia dialek Jakarta.
Selain Jakarta sentris sebenarnya kalau kita mau lebih jeli, TV-TV swasta kita mengalami persoala, saya sebut dengan, hidden racism, sebuah nalar rasisme yang tesembunyi. Masalah warna kulit sangat terlihat jelas. Dari sekian banyak stasiun TV swasta adakah penyiarnya yang berwarna kulit selain putih atau kekuningan? Nyaris tidak ada! Sebagian besar justru merepresentasikan warna-warna kulit kelas pertama, putih.
Kecenderungan ini juga semakin terlihat dengan bermunculannya artis-artis campuran. Bagi yang memiliki tubuh ideal dengan ketampanan atau kecantikan khas Eropa, mereka akan sangat beruntung dan potensial menjadi artis. Masalah bakat, bisa di-up grade melalui proses belajar. Yang penting, mereka mempunyai modal sebagai orang “kelas pertama.” Pasti mereka akan dilirik oleh Production House (PH).
Dalam konteks multikulturalisme, saya puji TVRI sebagai TV nasional yang cukup representatif. Namun, di sisi pengelolaan, TVRI menurut saya sangat buruk. Bisa kita lihat, tidak ada perbedaan yang signifikan dari 10 tahun yang lalu dengan TVRI yang kita lihat saat ini. Penampakan (appearance) yang ditampilkan sungguh minimalis dan kurang mencukupi. Misal, tampilan slide ketika berganti ke tayangan selanjutnya, benar-benar buruk. Padahal, dengan sedikit modal, TVRI mampu menyewa desain grafis yang cukup handal dan memermak habis tampilan itu.
Menonton TV swasta kita akan disuguhkan warna yang “Jakarta banget”. Sedang menonton TVRI, kita akan menyaksikan “TV yang oldies banget.” Sekurang-kurangnya ada persilangan di antara keduanya, TVRI menginspirasi paradigma multikulturalisme bagi TV swasta di Indonesia. Sedang TV swasta menginspirasi manajemen perusahaan bagi TVRI. Mungkinkah terjadi? []
0 comments :
Posting Komentar