
Oleh: Firdaus Putra A.
Melekatkan “holic” pada kata “book” akan terbayang sosok manusia dengan kacamata tebal, potongan rambut cupu dan model baju yang a la kadarnya. Mungkin inilah makna “bookholic” yang pertama, kutu buku. Entah dari mana asal muasal peribahasa “kutu buku” untuk melukiskan orang yang gemar membaca buku. Aktivitas membaca menjadi cukup peyoratif dengan peribahasa itu. Jadilah orang tidak mau menjadi “kutu buku” khawatir lama-lama ia akan menjadi “kutu busuk”.
Atau ada makna lain dari “bookholic” ini, yakni kegemaran membeli buku. Modusnya hampir sama dengan “shopaholic”, merujuk pada orang yang gemar berbelanja. Hingga muncul juga sebuah tempat di Yogyakarta, “shoping center”, pusat perbelanjaan buku. Pada makna yang kedua ini, bisa jadi aktivitas membeli buku sedikit bergeser dari tujuan semula, dalam rangka mengkoleksi untuk kemudian membacanya. Maksudnya, dengan membeli atau belanja buku orang memperoleh kepuasan tersendiri. Mirip dengan aktivitas belanja ketika ada bazar dengan diskon besar-besaran. Al hasil, pertimbangan apakah buku tersebut dibutuhkan atau tidak, menjadi tak relevan. Yang penting selama ada bazar buku, beli dan beli.
Untuk mengetahui tingkat kepekatan dua jenis “book holic” itu bisa kita gunakan deret hitung dan deret ukur. Pada jenis yang pertama, yakni gemar membaca, saya termasuk dalam deret hitung. Sedangkan yang kedua, masuk dalam deret ukur. Ya, ada kesenjangan di situ. Aktivitas membeli buku begitu cepat; 2, 4, 8 dst. Sedangkan aktivitas membaca buku sekedar; 1, 2, 3 dst.
Saat tersadar kadang saya geli, malu atau bahkan nyinyir sendiri. Pasalnya, sadar atau tidak, saya termasuk “shopaholic”. Bedanya, kalau beberapa teman saya suka membeli apapun saat diskon besar-besaran, sedang saya membeli buku apapun saat berdiskon. Ada rasa puas yang tak terkira. Misal, beberapa hari yang lalu ada bazar buku di lingkungan UPT Perpustakaan UNSOED, saya beli satu buku. Esoknya saya ke sana lagi, saya beli lagi. Lusanya, ada seorang teman yang memberitahu ada antologi esainya Seno Gumira Ajidarma, saya beli lagi. Selisih berapa hari, saya beli buku tata bahasa EYD. Dan di satu siang ketika pacar saya hendak pulang ke rumah, saya beli satu lagi, komik terbitan Gramedia untuk adiknya.
Memang aktivitas mengeluarkan uang mempunyai titik kenikmatan tersendiri. Sampai-sampai saya lupa kalau sudah membeli lebih dari tiga buku. Bahkan saya pernah berujar ke seorang teman, “Saya rela mencari hutang saat ada bazar buku murah”. Rasanya sayang-sayang melewatkan pasar murah itu. Pasalnya membeli buku dengan harga reguler terbilang masih mahal. Beda kalau membeli saat bazar buku murah, diskon bisa sampai 60% atau bahkan diobral.
Seperti “shopaholic” modus “bookholic” yang kedua juga beresiko. Sekurang-kurangnya saya, atau juga Anda, tak akan mampu mengontrol neraca keuangan. Gatal rasanya kalau hanya melihat berbagai buku dengan berbagai judul dan tak membelinya.
Resiko yang lain, rak buku kita menjadi cepat penuh. Mungkin secara ke-ruang-an tak terlalu masalah. Yang masalah adalah secara substansial. Ya benar, apakah kita sebenarnya butuh dengan buku yang kita beli saat itu atau sebenarnya hanya sekedar hasrat, nafsu atau syahwat saja untuk memilikinya?
Resiko kedua itu sulit untuk dibuktikan. Soalnya, bagi penggila buku ada saja alasan yang bisa diajukan. Membeli buku sampai seberapa banyak pun tidak akan pernah rugi. Karena sebenarnya kita sedang berinvestasi. Bisa jadi saat ini buku itu belum kita butuhkan dan berhenti hanya sebatas koleksi. Namun tak menutup kemungkinan di suatu tempo buku itu kita butuhkan. Hitung-hitung nabung untuk masa depan.
Test cash, apakah logika investasi ini fungsional atau tidak biasanya saya menuliskan harga pada buku yang baru saya beli. Di pojok kanan atas atau di halaman belakang. Proses ini fungsinya untuk mengetahui laju harga buku. Misal, saya pernah membeli buku dengan judul “Yahudi Menggenggam Dunia” terbitan Al Kaustar. Saya beli tahun 2000 dengan harga Rp. 7500. Dan suatu tempo saya melihat buku itu dicetak ulang—maklum masyarakat kita gemar mengonsumsi teori-teori konspirasi—saya lihat harganya Rp. 12.000 atau kalau tidak salah Rp. 15.000. Intinya harga buku itu sudah naik. Tentu saja, secara tak langsung saya sudah untung!
Pernah juga saya menemukan buku terbitan Paramadina. Judul buku itu “Pergulatan Mencari Islam; Perjalanan Religius Roger Garaudy”. Di bazar buku murah saya temukan buku itu diobral dengan harga Rp. 5000. Padahal label harga tercetak Rp. 17.000 di tahun 1996-an. Bayangkan berapakah harga buku itu kalau dicetak tahun 2008? Padahal kita sama-sama tahu kalau buku-buku terbitan Paramadina terbilang mahal. Lihat saja rilisan terbaru Paramadina “Kebenaran yang Hilang” tulisan Farag Fauda, harganya berkisar Rp. 50.000-an dengan ketebalan 200-250 halaman.
Resiko ketiga, karena gemar membeli di bazar buku murah, beberapa buku sudah kadaluarsa. Saya pernah membeli buku seharga Rp. 2500 tentang UU Hak Cipta dan Kekayaan Intelektual. Sayangnya, saat membeli saya tidak memeriksanya. Sampai suatu tempo ketika googling, saya temukan kalau UU tersebut sudah direvisi dengan yang baru.
Namun, kecil kemungkinan kita akan memperoleh buku yang kadaluarsa bilamana tema yang diangkat adalah tema-tema mendasar. Seperti buku “Pskologi Imajinasi” tulisan Sartre, “Etika Protestan” milik Webber dan sebagainya. Dua buku itu saya beli hanya seharga Rp. 15000-an. Padahal dua judul itu sampai sekarang kadang masih dicetak ulang. Misal buku “Etika Protestan” tulisan Webber yang cetakan ulangnya seharga Rp. 45.000.
Nah, itu serba-serbi pengalaman saya tentang “bookholic”. Bagaimana dengan Anda? Apakah merasakan hal yang sama? Atau justru Anda lebih parah daripada saya, bolak-balik beli buku kadaluarsa? He he he ... []
0 comments :
Posting Komentar