
Oleh: Firdaus Putra A.
Diskursus (discourse) merupakan satu konsep yang dibahas secara panjang lebar oleh Foucault. Konsep ini mengacu pada cara menghasilkan pengetahuan, beserta praktik sosial yang menyertainya, bentuk subyektivitas yang terbentuk darinya, relasi kekuasaan yang ada di balik pengetahuan dan praktik sosial tersebut, serta saling keterkaitan di antara semua aspek tersebut.[1] Konsep tersebut merujuk pada kondisi-kondisi dimana suatu pengetahuan, peraturan, norma, nilai, dan sebagainya terbentuk. Foucault melihat bahwa proses produksi itu semua bersifat tidak bebas nilai (not value free).
Penelusurannya yang cukup fenomenal adalah praktik (perbincangan) seksualitas ditabukan oleh masyarakat. Dalam bukunya, Seks dan Kekuasaan: Sejarah Seksualitas, Foucault menelusuri praktik pentabuan seks mulai zaman Victoria. Menurutnya, pada awal abad ke-17 seksualitas tidak ditutup-tutupi. Kata-kata bernada sesk dilontarkan tanpa keraguan, dan berbagai hal menyangkut seks tidak disamarkan. Ukuran untuk tingkah laku jorok, vulgar, santun sangat longgar, dibandingkan dengan abad ke-19.[2] Masih menurutnya, keterbukaan itu berubah ketika memasuki masa Victorian, seks menjadi sangat tertutup, ditutup-tutupi, disamarkan, dipingit dan seterusnya. Pembicaraan terkait dengannya dianggap tabu, vulgar dan tidak seronok. Orang yang membicarakan pun dianggap telah melampaui norma, nilai yang semestinya. Di masa itu, yakni mulai abad ke-18-an, seks direpresi dalam kesadaran masyarakat dengan berbagai mode kekuasaan yang halus dan rumit. Seks menjadi ‘barang’ rumahan, dipingit bak pengantin, hanya berlaku di malam hari, dan itu pun hanya ada di atas ranjang orang tua atau sepasang pengantin. Seks menjadi praktik yang penh dengan aturan.
Represi itu menghasilkan berbagai kode etik terhadap seks, baik bagi orang tua maupun remaja. Hubungan seks sepasang suami istri pun diliputi oleh berbagai aturan, norma, nilai tentang yang pantas dan yang tidak. Di luar itu, pengakuan dosa, berkenaan dengan kegiatan seks paralel dengan sebuah pengakuan kejahatan; pembunuhan, perampokan, dan sebagianya yang berlangsung di bilik tertutup pengakuan dosa di sebuah gereja. Terhadap hal ini, Foucault menulis, lebih tepatnya, masyarakat yang selama berabad-abad mengatakan kebenaran tentang seks telah mengembangkan berbagai prosedur yang pada dasarnya ditata dalam bentuk pengetahuan-kekuasaan yang sangat bertentangan dengan kita berbagai inisiasi dan rahasia yang sangat unggul, yaitu pengakuan dosa.[3]
Foucault menemukan bahwa represi terhadap seks berlaku melalui berbagai mekanisme; (1). Instansi aturan, yakni bahwa kekuasaan hanya menentukan tatanan bagi seks yang sekaligus berfungsi sebagai bentuk penjelasan (ketedasan). Kekuasaan juga bertindak dengan mengucapkan aturan; penguasaan sesk dilakukan melalui bahasa, atau lebih tepatnya melalui tindak wacana, konkretnya bentuk kuasa tersebut lahir pada pasal di dalam undang-undang, atau aturan de jure. (2). Siklus larangan, kekuasaan melakukan pelarangan; kamu tidak boleh mendekati, menyentuhnya dan sebagainya. Efek dari pelarangan ini adalah bentuk penyangkalan diri dari seks itu sendiri. (3). Logika sensor, merupakan konsekuensi dari siklus larangan, berkenaan dengan apa yang dilarang, orang tidak boleh berbicara hingga dicabut dari kenyataan, apa yang ada tidak ada tidak boleh diwujudkan, dan apa yang harus dibungkam ternyata dicabut dari kenyataan seperti sesuatu yang secara kodrati adalah terlarang. Sensor ini berlaku dari negara sampai ke dalam lembaga keluarga. (4). Kesatuan perangkat, kekuasaan diterapkan secara merata di segala tataran. Dari atas ke bawah, dalam keputusan global atau pun intervensi yang halus, apapun caranya, kekuasaan bertindak secara seragam dan massal. Kekuasaan menciptakan homogenitas.[4]
Pada sisi lain, Foucault juga menggariskan di samping kekuasaan bekerja dengan logika di atas, ia menambahkan bahwa kekuasaan juga bekerja melalui cara normalisasi. Melalui cara ini kekuasaan tidak bekerja semata-mata dengan cara negatif. Kenegatifan kekuasaan tanpa dibarengi dengan proses normalisasi yang bersifat produktif hanya akan menghancurkan kekuasaan itu sendiri. Foucault menyatakan dalam wawancaranya dengan Alessandro Fontana, sebagai berikut;
Sekarang saya percaya bahwa keseluruhan konsep kekuasaan seperti ini benar-benar negatif, sempit, picik, dan telah tersebar luas secara aneh. Jika kekuasaan bukan apa-apa selain represi, jika ia tidak pernah melakukan apa-apa selain berkata tidak, apakah Anda benar-benar berpikir bahwa ia dapat menuntun orang untuk mematuhinya? Apa yang membuat kekuasaan terlihat baik, apa yang membuatnya diterima sebagai fakta sederhana bahwa ia hadir di depan kita ... (yakni, penj.) sebagai kekuatan yang membentuk pengetahuan dan memproduksi wacana.[5]
Perlu kita ingat kembali bahwa kekuasaan menurut Foucault bukan Kekuasaan dengan ‘K’ kapital, melainkan kekuasaan dengan ‘k’ kecil. Kekuasaan (pouvoir) menurutnya bertentangan dengan tafsiran kekuasaan sebagai azas pemersatu, atau sebagai azas yang terpencar dari sumber yang satu. Justru kekuasaan yang dimaksud olehnya merupakan kekuasaan yang strategis canggih dalam masyarakat tertentu, yang dibentuk dari kekuasaan- kekuasaan mikro yang terpisah-pisah.[6]
Kekuasaan semacam ini bekerja secara halus, melalui proses normalisasi, dimana kekuasaan akan mengeluarkan ‘fatwa’ apa-apa yang dianggap normal dan tidak melalui cara yang konstruktif dan produktif. Secara halus proses normalisasi ini bekerja dengan langkah seleksi, yakni wacana apa yang perlu untuk ‘difatwakan’ dan mana yang tidak perlu. Di dalam proses seleksi wacana, sebenarnya kekuasaan menjelma secara nyata.
Jadi, apa yang dilakukan oleh Foucault dalam banyak proyeknya, bukan dalam rangka melakukan analisis terhadap pengetahuan, melainkan proses produksi pengetahuan, dimana dalam keadaan semacam apakah suatu pengetahuan dimungkinkan muncul. Hariyadi dkk., menyatakan bahwa apa yang sedang dikerjakan Foucault adalah suatu analisis tentang terbentuknya episteme. Episteme dapat dimaknai sebagai produk kesejarahan dari beberapa prinsip pengaturan dari suatu wacana yang menghubungkan hal satu dengan hal lainnya (dengan mengklasifikasikan sesuatu, dan memberikannya makna dan nilai), dan sebagai hasilnya, menentukan bagaimana orang dapat memikirkan sesuatu, apa yang diketahui, dan apa yang dikatakan.[7]
Foot note:
1. Dalam Pengetahuan dan Metode, Hal 9
2. dalam Seks dan Kekuasaan, hal 1
3 Ibid., hal, 70
4 Ibid., hal 102-103
5. Lihat kumpulan hasil wawancara Foucault dalam Power/Knowledge, Hal. 148.
6 Lihat definisi kekuasaan dalam Seks dan Kekuasaan, Hal. 202.
7. Baca selengkapnya tulisan Hariyadi dkk., “Konsep Kekuasaan Menurut Habermas dan Foucault” dalam Jurnal Interaksi, vol. hal. Bandingkan dengan deskripsi episteme sebagai himpunan berbagai pengetahuan yang beraturan (konsepsi tentang dunia, ilmu pengatahuan, dan sebagainya) yang khas pada suatu kelompok masyarakat, pada suatu zaman, pada Seks dan Kekuasaan, Hal. 201
0 comments :
Posting Komentar