
Oleh: Firdaus Putra A.
Tak ada manusia yang tak pernah menangis. Di hari awal ia lahir ke dunia, tangis merupakan pertanda nan membahagiakan semua orang. Awal kehidupan bermula dengan tangis. Tak kecuali akhir kehidupan. Berbeda di awal, akhir kehidupan sanak famililah yang menangis.
Menangis merupakan aktivitas yang alamiah. Mungkin tanpa tangis, manusia kurang lengkap kemanusiaannya. Tanpa tangis, akan ada ekspresi perasaan yang hilang. Tangis merupakan kulminasi dari perasaan manusia. Terlalu bahagia ia akan menangis. Terlalu sedih juga akan menangis.
Tangis tidak memandang jenis kelamin. Laki, perempuan, transkelamin, semuanya bisa menangis. Tangis adalah kodrat. Ia ditakdirkan lekat dengan manusia yang dhaif ini. Kedhaifan kitalah yang membuat kita lebih banyak menangis karena sedih daripada bahagia. Tangis merupakan sebentuk tanda kelemahan. Sedang tanda merupakan hasil konstruksi manusia.
Saya sering menangis. Artinya saya tak malu atau tak segan untuk menangis. Saat sendiri atau bersama orang lain. Karena alamiah, menangis bagi saya seperti halnya tertawa. Menangis bukan aib. Menangis juga bukan penyimpangan. Menangis adalah wajar dan sah.
Semuanya tak berjalan alamiah. Menangis menjadi lebih akrab bagi perempuan. Sejurus kemudian, laki-laki menangis dianggap lemah, aib dan menyimpang. Sedari kecil, ayah-ibu kita mengajari kalau anak laki tak boleh menangis. Hanya si perempuan lemahlah yang boleh menangis. Karena lemah, perempuan bebas mengekspresikan perasannya. Karena kuat, laki-laki tak boleh mengkulminasikan ekspresi perasaannya.
Tangis yang awalnya kodrat berubah menjadi tanda, identitas dan ideologi. Laki-laki menangis menjadi “haram”. Perempuan menangis, menjadi “sangat halal”. Bahkan seakan-akan belum menjadi perempuan seutuhnya apabila jarang menangis. Itulah perempuan tomboy, perempuan yang sifat maskulinnya lebih menonjol.
Inilah ideologi patriakhi yang membelenggu laki-laki untuk “haram” menangis. Ia beroperasi secara laten, halus dan tak kasat mata. Ia beroperasi semenjak kita dilahirkan di dunia. Tak hanya di keluarga, ia juga menyusup ke bangku-bangku sekolah. Tengoklah taman kanak-kanak dimana si guru perempuan melarang siswa kecilnya menangis. Ya, laki-laki tak boleh menangis sudah sedemikian rupa kita terima sebagai kebenaran.
Hasilnya, sedikit laki-laki yang menangis secara tulus. Ya, menangis sebagai ekspresi murni perasaan. Bukan tangis yang dibuat-buat. Juga bukan air mata buaya. Hanya di kotak televisilah laki-laki menangis secara elegan, hikmat dan terhormat. Atas nama profesionalitas, penghayatan peran dan arahan sutradara, tangisan laki-laki menjadi sangat bermakna.
Sebagai ekspresi perasaan, menangis membutuhkan kondisi yang mencukupi untuk menetesnya air mata. Kondisi ini bukan dibuat-buat, kondisi ini terjadi secara spontan. Tangisannya pun tanpa perencanaan. Ia menangis bukan karena sudah merencanakan menangis. Menjadi aneh ketika seorang trainer (pelatih) selalu saja bisa menangis dalam kondisi yang sama. Bisa jadi tangisnya tak lagi spontan. Bisa jadi tangisnya sekedar memenuhi seting psikologis. Ia menangis dalam rangka mengajak peserta agar turut menangis. Ia menangis bukan karena perasaannya. Tangis berubah menjadi instrumen untuk tujuan tertentu. Instrumen pembangkit simpati-empati peserta.
Menangis juga bermacam-macam ekspresinya. Ada yang hanya dalam hati, tanpa suara namun tiba-tiba terbetik air mata. Ada yang bersuara dan bahkan berteriak histeris. Ada juga yang tak bersuara namun tiba-tiba sesunggukan dan air mata menetes.
Tangis yang pertama biasanya tangis bahagia atau kemarahan, kemuakan dan kesebalan yang terdefinisikan jelas. Tangis ini sebagai wujud permakluman keadaan. Ya, karena semuanya sudah terdefinisikan dengan jelas.
Tangis kedua biasanya lantaran kemarahan, kemuakan dan kesebalan yang sudah terdefinisikan dan bersifat agresif. Ia tak sekedar memaklumi keadaan, ia tengah menolak keadaan. Teriakan histeris merupakan bentuk penolakan itu.
Tangis ketiga, ia muncul dari kondisi perasaan yang tak terdefinisikan. Ia tak tahu apa yang salah. Mungkin dirinya, orang lain atau keadaan yang membuatnya demikian. Tangis ini merupakan ekspresi dari kemangkelan. Ya, seperti buah mangga yang tidak matang juga tidak mentah, tapi mangkel. Ada perasaan rela atau maklum, berbalut perasaan menolak. Tangis ini tak bersuara, lantaran suara tercekat di batang tenggorokan.
Apapun itu, tangisan tetaplah tangisan. Tak perlu kita memilih ingin menangis dengan cara satu, dua atau ketiga. Dalam sebuah spontanitas, tangisan secara tulus akan keluar begitu saja bak tarian kuas di atas kanvas. Dan dalm pada itu, hanya kitalah yang tahu apakah kita tulus atau tidak. Menangis butuh kejujuran. []
3 comments :
... dan diriku menangis terharu baca shoutmu di blogku dek, selama ini banyak mereka2 yang 1 iman denganku yang mengatakan aku bikin malu TY karena postingan2ku. Tapi baca shoutmu dek, membuatku terharu, karena sengganya ada 1 orang yang berpendapat aku ngga memalukan Dia yang menjaga jiwaku. Maksih dek, buat uluran persaudaraannya. :)
sek sek...tak milih cara nangis nya dulu deh sebelum nangis....
penyair senja selalu berusaha
untuk:
"Merayakan Luka"
"Menangisi Tawa"
^_^
itu cara bisa survive di JKT
mentertawakan realitas.
Posting Komentar