
Oleh: Firdaus Putra A.
Judul di atas merupakan nama dari salah satu kafe di Purwokerto. Letaknya tak terlalu jauh dari kampus UNSOED, tepatnya di depan GOR Satria. Kafe itu berdiri dengan desain eksterior posmodern. Permainan warna merah, hitam, abu-abu, dan semacamnya. Ditambah posisinya yang bersebelahan dengan Maestro Billiard & Longue, membuat kafe “gaul abis.”
Sore itu, jam 15.00, saya pergi ke sana. Bukan dalam rangka nongkrong atau kongkow, tetapi memenuhi undangan diskusi bedah buku. Kalau saya sebut, bisa jadi Anda heran, karena buku yang dibedah berjudul “Neoliberalisme Mencengkeram Indonesia”. Tentu saja menyoal neoliberalisme tak jauh-jauh dari masalah kapitalisme. Dan tentu saja, kafe ditambah pusat biliar merupakan sebentuk modus kapitalisme, ya, life style.
Saya duduk di sebelah samping, dekat dengan jalan raya. Sebenarnya suara kendaraan cukup membuyarkan konsentrasi peserta. Tapi, “diskusi berat” di kafe nampaknya bisa mengurangi kesan “berat” itu sendiri. Mirip seperti konsep talkshow yang mencoba membuat santai sesuatu yang sebenarnya serius.
Di depan saya, beberapa kursi dan meja tertata memanjang. Di atasnya ada lampu penerang yang berbentuk tabung. Warna bagian dalamnya merah, sedang bagian luarnya hitam. Mungkin desain ini disengaja untuk menurunkan tingkat keterangan cahaya lampu tersebut. Agar pengunjung berada di situasi yang remang, rileks, dan santai.
Masih di depan saya, ada tiang bambu yang menyangga atap. Oh iya, sebagain desain bangunan menggunakan bambu. Mulai atap, dinding yang separoh terbuka, dan beberapa pasang merja-kursi. Ada kesan klasik di situ. Ada kesan eklektik yang mencampurkan antara tradisional dengan desain modern; sound system, pencahayaan, tata ruang, dan sebagainya.
Di bagian tiang bambu itu ada figura berlapis kaca. Di dalamnya bukan terisi foto, melainkan sederet tulisan yang menggelitik. “Di sini bukan tempatnya maen futsal, maen kasti, main jonjang uber, apalagi ... maen perempuan.” Saya tergelitik atau lebih tepatnya cukup terganggu dengan kalimat itu. Perhatikan frasa “apalagi ... maen perempuan”, ups ... ya betul, frasa itu mengandung bias jander. Kalau dibalik, mengapa bukan “apalagi ... maen laki-laki” atau “apalagi ... maen waria/banci”? Mau diisi dengan jenis kelamin apapun, tetap saja seksis!
Sore itu saya tak berhasrat untuk bertanya, mengapa tertulis demikian. Saya hanya mereka-reka, mungkin yang membuat tulisan itu adalah laki-laki. Ya iya lah, masak ya iya dong, kalau perempuan kalimat itu tidak akan pernah tercetak. Ya, seringkali bias jender dan kehidupan yang seksis disebabkan karena ruang publik atau ruang kreativitas hanya didominasi jenis kelamin tertentu.
Saya jadi ingat kritik sebagain cendekiawan Muslim pada kitab kuning yang disinyalir bias jender. Salah satu penyebabnya karena mayoritas ulama adalah laki-laki. Artinya, perspektif patriarkhi—sadar atau tidak—seringkali mendominasi fiqh (hukum Islam).
Sebagian orang mungkin menganggap tulisan itu “remeh-temeh” dan tak perlu dirisaukan. Masalahnya, kondisi mental dan kognitif kita sedari kecil tercekoki dengan “Ibu di rumah. Ayah pergi ke kantor”, atau “Ibu membuat kopi. Ayah membaca koran”, ya benar, perempuan didomestifikasi dan laki-laki selalu memikul peran publik.
Terlepas dari itu, saya cukup enjoy di kafe itu. Sekurang-kurangnya apa-apa yang saya minum dan makan, semuanya ditanggung panitia. Saya minum segelas soda susu dan memesan roti bakar. Parahnya, saya lupa kalau tadi siang pencernaan tidak normal (sakit perut), al hasil, sepulang ke kos saya “bongkar muatan” secara tidak normal, diare. []
Note: Telah dimuat di http://we-press.com
0 comments :
Posting Komentar