Pelaku, Korban & Keadilan


Oleh: Firdaus Putra A.

Beberapa minggu yang lalu saya mendengar cerita tentang kasus pencurian yang dilakukan anak kos. Ironisnya, si pelaku adalah seorang mahasiswi. Sebut saja, Nurani. Nurani dengan berani mengambil uang teman sekosnya. Jumlahnya memang tidak terlalu besar, sekitar 150.000.

Yang menarik, kasus itu cepat diendus oleh penghuni kos. Proses pengendusan dilakukan, yang konon katanya, menggunakan penginderaan batin (ya ... mirip para normal gitu lah). Meski demikian, hasil penginderaan hanyalah hipotesis. Sifatnya sekedar menduga atau menunjukan gejala. Diperlukan langkah atau tindakan lain untuk membuktikan bahwa Nurani adalah pelakunya.

Pendekatan seperti ini memang sering kita jumpai di masyarakat Indonesia, khususnya Jawa. Kita kenal praktik “puter giling”, dimana dengan ilmu atau mantra tertentu pelaku akan merasa kebingungan dan mengembalikan secara tidak sadar barang yang sudah diambilnya. Saat itu, ia berada dalam kuasa energi lain di luar kontrol tubuhnya. Bisa jadi jin atau sebangsa lelembut lain. Yang lebih sederhana hanya melalui penginderaan batin. Biasanya pelaku dikenali melalui ciri-ciri fisik, misal warna rambut, tinggi badan, bentuk badan, dan sebagainya. “Teknologi” ini tergolong sederhana dalam praktik kepara-normalan.

Entah karena etika profesi atau sebab lain, biasanya para normal jarang langsung menunjuk nama pelaku. Bisa jadi ini merupakan salah satu prinsip etis, ya seperti logika “praduga tak bersalah”. Beberapa anak kos mau tak mau menyusun siasat untuk membuktikan praduga itu. Cara yang paling sederhana dengan jalan menakut-nakuti “terduga” melalui proses minum air keramat. Siasat seperti ini juga pernah saya saksikan saat SD dulu. Guru agama menyiapkan sebaskom air ditambah bunga mawar dan melati. Bukan untuk diminum, melainkan dibasuh di wajah. Setiap murid diminta satu per satu untuk membasuh wajahnya dengan “air keramat” itu. Dan cespleng, esok harinya si pelaku mengakui kesalahannya di depan guru.

Nampaknya cara beberapa mahasiswi ini cukup manjur. Konon katanya, setelah semua anak meminum “air keramat” yang sudah dimitoskan sedemikian rupa itu, ada satu anak yang memuntahkannya. Bukan karena keramat, nampaknya ia tersugesti oleh proses mistifikasi itu. Pasalnya, air yang diminum sebenarnya bukan keramat, hanya air mineral biasa. Terlepas dari itu, sugesti telah membuatnya ketakutan. Jadinya, selama dua hari ia demam bahkan sampai muntah-muntah.

Saya pernah mengalami sugesti seperti itu. Dulu, saat wisata ke Bali teman-teman sering becanda, hati-hati kalau makan daging, bisa-bisa kita diberi daging babi lho, itu kata mereka. Sugesti itu memuncak waktu makan malam. Nasi boks dibagikan, candaan yang sama keluar susul-menyusul. Pikiran saya mulai penuh prasangka, ditambah rasa daging yang tak seperti daging sapi biasanya. Lebih manis dan baunya tak seperti daging sapi. Karena ragu, saya tanya ke teman Kristiani, jenis daging apakah itu. Dia meyakinkan saya bahwa daging babi tidak seperti itu. Dia terangkan secara detail. Namun apa yang terjadi, meski dia “otoritatif” dalam per-daging-an, tetap saja sugesti itu belum bisa saya tepis. Alhasil, saya hanya mampu menelan dua suapan dan memberikan sisa makanan ke teman lain. Proses auto-sugesti itu benar-benar telah berdampak pada hilangnya keinginan untuk makan. Meski kita ingat, sugesti hanya beroperasi pada level psikologis. Namun, efeknya bisa sampai ke struktur biologis, bila yang bersangkutan meyakininya.

Mungkin hal seperti itu yang dialami Nurani. Auto-sugesti sebagai perwujudan rasa bersalah telah membuat tubuh biologisnya memberontak. Ia sakit, ia muntah-muntah. Belum cukup di situ, beberapa anak kos semakin meningkatkan intensitas terornya. Klimaksnya, di hari ketiga, Nurani mengakui tindakannya. Ia menyerah!

Cerita agak berbeda dengan kejadian di SD dulu kala. Dulu, ketika mengaku kesalahan, teman SD dinasehati baik-baik oleh beberapa guru. Ya klise lah, bahwa tindakannya itu melanggar hukum, agama juga hukum perundang-undangan. Namun, naas menimpa Nurani, keberaniannya untuk mengakui kesalahan berbuntut kerelaannya untuk menerima sumpah-serapah beberapa teman kosnya.

Malam itu, konon katanya, ia diinterogasi habis-habisan. Intinya mengapa, untuk apa ia mengambil uang itu. Belum puas, interogator juga menanyakan latar belakang ekonomi keluarganya, berapa bersaudara, pekerjaan orang tuanya, juga berapa rupiah kiriman bulanannya. Andaikan dia berbicara jujur, Nurani menyatakan kalau orang tuanya tak terlalu kaya. Sebulan ia hanya dikirim 300-400 ribu rupiah. Sedangkan ia mempunyai dua adik di rumah. Sekali lagi, andaikan ia berbicara jujur. Toh, kita sama-sama tak pernah tahu apakah ia sedang berkata jujur atau tidak. Kecuali kita mempunyai lier detector atau sensitivitas a la detektif Conan.

Nurani tergolong perempuan yang tidak buruk rupa. Bahkan, ia mengikuti terapi atau perawatan wajah. Ya kalau artis, kecantikannya seperti Nirina Zubir atau lainnya. Selebihnya, ia juga gemar dugem di diskotik tertentu. Bisa dibilang gaya hidupnya cukup wah ... Pepatah klasik, besar pasak daripada tiang, nampaknya teralami olehnya. Ia adalah anak zaman dari hedonisme dan gaya hidup glamor. Mungkin ia adalah salah satu korban dari struktur (tak kasat mata) gaya hidup itu.

Lihatlah, bagaimana perempuan dikonstruksi sedemikian rupa dalam media-media pop. Banyak tawaran manis di sana-sini. Mulai dari make up, make over, make different with fashion (padahal yang muncul seragamisasi fashion), asesoris tubuh, ponsel terbaru-tercanggih, dan berbagai macam ikon syahwat budaya pop. Ia menyerah, takluk dalam pusaran yang ngepop-ngepop itu.

Mendengar kesaksian Nurani, si korban, sebut saja Naluri, turut prihatin. Bisa jadi ia mulai memaklumi mengapa temannya bertindak demikian. Namun ada juga beberapa teman yang berperan sebagai “m(p)olisi”. Interogasi jalan terus, bahkan diliputi dengan caci-maki, sumpah-serapah. “Mending merek (melacur) aja deh lu!” Demikian serapah teman yang lain.

Tak disadari posisi korban dan pelaku menjadi kabur bahkan berbalik arah. Waktu itu, situasi mirip sebuah aksi pengeroyokan warga terhadap maling yang tertangkap. Bedanya bukan bogem mentah, pukulan atau tendangan yang dijuruskan, melainkan caci-maki, sumpah-serapah mengalir begitu saja. Seakan-akan dengan berbagai caci-maki, sumpah-serapah itu, beberapa anak kos berharap si Nurani jera.

Saya menjadi ingat, ada kekurangan dalam “sidang” waktu itu. Ya, Nurani tidak didampingi oleh pengacara atau pembela. Dalam logika hukum, pelaku biasanya tetap akan memperoleh jaminan hak-haknya sebagai manusia. Sayangnya, “sidang kos” tidak secanggih itu. Alih-alih “sidang” penuh kearifan nan reflektif, waktu itu justru terjadi pengumbaran caci-maki, sumpah-serapah yang merendahkan martabat manusia. Ya, sesalah-salahnya, Nurani adalah manusia!

Bisa jadi, beberapa anak kos kurang optimis dalam memandang manusia. Saya jadi ingat teori labelling X-Y Mc Gregor. Bahwa prasangka kita terhadap seseorang akan menentukan tindakan atau sikap kita terhadap orang tersebut. Memang teori itu lebih masyhur di kalangan administatur keorganisasian. Beberapa anak kos nampaknya kurang yakin atau kurang optimis kalau Nurani memang mempunyai hati nurani.

Waktu itu Nurani menangis sejadi-jadinya. Tak terhitung berapa kali ia memohon maaf. Tak ada apologi yang lebih meyakinkan selain ia bersumpah atas nama Tuhan kalau ia menyesal. Sayangnya, adagium tak ada pencuri yang mau ngaku sukarela sebelum dipukuli, telah menjalar di otak kita. Alhasil, meski permohonan maaf dan sumpah telah ia nyatakan, tetap saja proses belum berhenti. Ia menyerah, atau lebih tepatnya, nasibnya diserahkan pada otoritas anak kos yang “m(p)olisi” tadi.

Pelaku menjadi korban. Di lain sisi, “ng(k)orban” yakni anak-anak kos yang sebenarnya bukan korban, telah menjadi pelaku yang menistakan martabat manusia. Pasalnya, saya ingat bahwa logika hukum harus berjalan adil. Keadilan bagi korban juga bagi pelaku. Sesuatu idealnya berlaku seimbang, tidak berlebihan. Termasuk dalam kerangka penyidangan juga penghukuman.

Entah seberapa pedihnya Nurani mendengar caci-maki, sumpah-serapah dan berbagai kata-kata pedas lainnya. Disayangkan pula, beberapa anak kos nampaknya sekedar mengumbar emosi, hasrat kemarahan, dan berbagai modus-modus bawah sadar lainnya. Mereka lebih nampak sedang menikmati penderitaan Nurani, daripada mencari keadilan bagi Naluri dan Nurani. Ada juga kealpaan yang terlupa, sekali-kali Nurani merupakan korban dari jejaring mode, struktur gaya hidup, dan berbagai modus narsistik lainnya. Ah, mengapa saya seakan-akan membela Nurani?

Sering kita saksikan beberapa kasus pengeroyokan maling yang terjadi di masyarakat. Pada dasarnya, tindak pencurian adalah salah. Namun, mengeroyok pencuri juga merupakan tindakan yang salah. Logika hukum yang humanis, seperti dalam Islam, misalnya, tidak sekedar menyoal apa perbuatannya. Lebih jauh, hukum harus menelisik mengapa ia berbuat demikian.

Saya ingat sebuah kisah di masa Nabi memimpin, saat itu ada budak yang kedapatan mencuri di rumah majikannya. Si budak ditangkap dan disidangkan di depan Nabi. Setelah ditelusuri, ternyata budak tersebut mencuri karena kurang diperhatikan oleh majikannya. Bukan si budak yang dihukum, justru majikannyalah yang memperoleh hukuman. Inilah keadilan!

Secara strukturalis saya berpendapat ada struktur yang memaksa kita (secara tak langsung) untuk bertindak di luar susila. Enaknya kita sebut dengan patologi struktual. Nurani hanyalah bagian kecil yang dibayang-bayangi struktur budaya pop yang senantiasa merayunya, menggodanya, mengarahkannya, dan menipudayanya sampai akhirnya ia memilih jalan tak legal.

Sebagai pelaku, Nurani tetap harus memperoleh hukuman. Meski demikian, dalam kerangka hukum modern, logika yang berkembang adalah restitutif, yakni mengembalikan ke kondisi semula, sederhananya rehabilitasi. Dalam proses itu, sepatutnya ia tidak dijauhi, tidak dibenci, dan tidak “dikuyo-kuyo”. Justru, masyarakat (baca: anak kos) harus melakukan pendampingan terhadap psikologisnya, perhatian tanpa berlebihan, dan juga pemaafan sepantasnya.

Menjauhinya dan membencinya, alih-alih membuat dirinya jera dan sadar, justru persepsi dirinya terhadap dunia akan semakin muram dan penuh pesimisme. Ia akan merasa tak lagi bisa dipercaya dan terbuang sebagai anggota masyarakat. Bukan insyaf dan jera, justru ia akan semakin menjadi-jadi.

Sebagai manusia, apalagi remaja, berbuat salah adalah lumrah. Artinya, memang dalam proses hidup adakalanya kita kepleset atau kesandung batu. Dalam kerendah-hatian sebagai sesama manusia, menjadi aneh kalau kita justru menertawakannya. Ulurkanlah tangan dan berikanlah pertolongan.

Berbeda dengan beberapa anak kos itu, mungkin saya termasuk orang yang optimis kalau Nurani sudah cukup jera. Sakit yang dialaminya menandakan bahwa ia bukan orang yang “ndableg” atau cuek. Dalam kesakitannya, ia mungkin merintih, mengapa saya bertindak sebodoh ini.

Inilah tragika Nurani, merintih sebagai pelaku dan menangis sebagai korban. Di hadapan ketakbijakan martabatnya terkoyak-koyak. []
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments :