
Oleh: Firdaus Putra A.
Pernahkah Anda ribut dengan pacar gara-gara tanda baca? Baru-baru ini saya mengalami. Pacar saya mengirim SMS, “Mas sms Ridwan ya?” Kalau kita membaca SMS itu secara tekstual, maka pacar saya sedang menanyakan apakah saya mengirim SMS ke Ridwan. Sayangnya, saya membacanya secara kontekstual.
Beberapa kali sebelumnya (bahkan sering) pacar saya mengirim SMS, seperti ini, “Aku sudah bilang berapa kali mas, jangan ikut campur masalahku?” atau seperti ini, “Mas besok ke kampus yuk?” dan sebagainya. Mungkin yang dimaksud adalah “Aku sudah bilang berapa kali mas, jangan ikut campur masalahku!” atau “Mas besok ke kampus yuk.”
Nah, ketika menerima SMS “Mas sms Ridwan ya?”, saya menduga kalau pacar saya sedang salah mengetik tanda baca. Dimana tanda tanya yang seharusnya tanda titik. Karena saya memahami SMS itu dengan cara demikian, akhirnya saya mengirim SMS ke Ridwan. Sebelum pacar saya SMS seperti di atas, saya justru tidak berpikir untuk SMS ke Ridwan. Karena salah menafsirkan tanda baca dan telanjur SMS, pacar saya marah. Saya memahami hal itu, ia merasa ruang privasinya dicampurtangani oleh saya.
Memang seharusnya saya membaca “Mas sms Ridwan ya?” sebagai pertanyaan apakah saya mengirim SMS ke Ridwan. Hal ini baku dalam struktur kebahasaan. Namun, praktik kebahasaan yang terjadi ternyata tidak seketat itu. Adakalanya secara sewenang-wenang—entah sengaja atau tidak—tanda baca kita gunakan dalam konteks kalimat yang tak tepat.
Dalam konteks itu, saya sedang “menjiwai” gaya bahasa SMS pacar saya yang kadang ambigu. Ditambah konteks situasi saat itu sedang terjadi krisis, saya simpulkan kalau pacar saya terburu-buru dan akhirnya salah ketik.
Sedangkan SMS, “Aku sudah bilang berapa kali mas, jangan ikut campur masalahku?” bisa jadi sebenarnya pacar saya sedang melontarkan pertanyaan retoris. Sebuah pertanyaan yang tentu saja tidak membutuhkan jawaban. Parahnya, saya tafsirkan kalau SMS itu sepatutnya menggunakan tanda baca seru sebagai proses penegasan.
Praktik kebahasaan sehari-hari (parole) sedikit-banyak berbeda dengan ragam bahasa tulis yang baku (langue). Di sinilah proses penafsiran muncul dari hasil interaksi antara saya, gaya bahasa SMS pacara saya, dan konteks saat pacar saya mengirim SMS. Praktik kebahasaan seperti ini bisa dibilang ambigu berhadapan dengan kaidah baku yang berlaku.
Praktik semacam ini baru menjadi masalah ketika saya memahaminya dalam kerangka parole, sedang yang sebenarnya dimaui pacar saya dalam kerangka langue. Dan cara tafsir dalam kerangka parole yang saya gunakan secara tidak langsung didukung oleh gaya bahasa SMS pacar saya selama ini. Habitus atau kebiasaan menjadi faktor yang mengukuhkan cara tafsir dalam kerangka parole itu.
Keributan kami berlangsung cukup lama dan cukup tinggi. Sembari mengklarifikasi saya kirim ulang (forward) beberapa SMS dia yang saya sinyalir ambigu. Yang jelas bukan dalam rangka memojokan bahwa gaya bahasa SMS pacar salah, akan tetapi dalam rangka memberitahu bahwa kesalahan ini juga didukung kebiasaannya.
Terlepas dari salah tafsir itu, saya sudah meminta maaf kepadanya. Bahwa tindakan yang saya lakukan, yakni mengirim SMS ke Ridwan tanpa seizinnya, adalah salah. []
* Ridwan, bukan nama sebenarnya, hanya permisalan saja.
0 comments :
Posting Komentar