The ESQ Way 165


Sebuah Telaah Paradigmatik
Oleh: Firdaus Putra A.

Pada sampul buku “Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual, ESQ Emotional Spiritual Quotient” karya Ary Ginanjar Agustian tertera anak judul, The ESQ Way 165, dengan penjelasan, 1 Ihsan, 6 Rukun Iman, dan 5 Rukun Islam. Kemudian pada halaman 36-60, penulis memberikan sedikit pengantar terkait eksplorasinya terhadap konsep trilogi Islam (iman, Islam, dan ihsan). Berlanjut ke halaman-halaman berikutnya, penulis menggunakan model bertingkat untuk menjelaskan operasionalisasi dari trilogi tersebut (lihat Ringkasan Keseluruhan The ESQ Way 165 hal. 381).

Pada hal. 64, penulis mengawali pembahasan berangkat dari titik tolak ihsan. Dalam eksplorasinya penulis menyebut proses itu sebagai Zero Mind Process yang bertujuan sebagai penjernihan emosi. Dan secara beranjak memasuki spektrum Rukun Iman dan Rukun Islam. Singkatnya, sumber inspirasi The ESQ Way 165 adalah iman, Islam, dan ihsan.

Ada satu kekurangan dari buku itu, yakni penulis kurang mengeksplorasi secara serius bagaimana konsep trilogi iman, Islam, dan ihsan dalam pemahaman Islam. Kekurangan ini cukup mengganggu lantaran seluruh isi bukunya berangkat dari hal tersebut.

Nurcholis Madjid dalam “Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah” pada pembahasan, “Islam, Iman dan Ihsan sebagai Trilogi Ajaran Ilahi” membahas secara tuntas bagaimana konsep-konsep tersebut dalam kajian Islam (hal. 463-482). Dengan mendasarkan pada QS. Al Hujurat 49:14, penjelasan trilogi itu menjadi semakin jelas. Sebuah Ayat Suci melukiskan bagaimana orang-orang Arab Badui mengakui telah beriman tapi Nabi diperintahkan untuk mengatakan kepada mereka bahwa mereka belumlah beriman melainkan baru ber-Islam, sebab iman belum masuk ke dalam hati mereka (hal. 464). Dari ayat tersebut bisa kita simpulkan bahwa makna iman lebih mendalam daripada makna Islam.

Mengutip Ibn Taimiyah, Nurcholis Madjid menjelaskan bahwa agama memang terdiri dari tiga unsur; Islam, iman, dan ihsan yang dalam tiga unsur itu terselip makna kejenjangan; orang mulai dengan Islam, berkembang ke arah iman, dan memuncak dalam ihsan. Ibn Taimiyah, sebagaimana dikutip Cak Nur, menghubungkan pengertian ini dengan firman Allah, “Kemudian Kami (Allah) wariskan Kitab Suci pada kalangan hamba Kami yang Kami pilih, maka dari mereka ada yang (masih) berbuat zalim, dari mereka ada tingkat yang pertengahan (muqtashid), dan dari mereka ada yang bergegas dengan berbagai kebajikan (sabiq) dengan izin Allah” (QS. Fathir 35:32).

Masih mengutip Ibn Taimiyah, di halaman lain Cak Nur menambahkan (hal. 472), ihsan merupakan pendidikan atau latihan untuk mencapai sesuatu dalam arti sesungguhnya. Karena itu, ihsan menjadi puncak tertinggi keberislaman manusia. Ia tegaskan bahwa makna ihsan lebih meliputi daripada iman, dan karena itu, pelakunya adalah lebih khusus daripada pelaku iman, sebagaimana iman lebih meliputi daripada Islam, sehingga pelaku iman lebih khusus daripada Islam. Sebab dalam ihsan sudah terkandung iman dan Islam, sebagaimana dalam iman sudah terkandung Islam.

Jenjang vertikal ini juga dapat diidentifikasi dari seni arsitektur atap bertingkat tiga, misal dalam kubah masjid masa lalu. Tingkat tiga merupakan perlambang dari jenjang keberagamaan manusia, yaitu tingkat dasar atau permulaan (purwa), tingkat menengah (madya), dan tingkat maju dan tinggi (wusana). Dan juga Islam, iman, dan ihsan mempunyai tafsir kesejajaran dengan syariat, thariqat, dan ma’rifat (hal. 464).
Dalam konteks jenjang itu pula, tahapan dari proses pendidikan juga mengikuti logika yang sama, bermula dari Islam, iman, dan memuncak pada ihsan. Namun, apa yang dikembangkan Ary Ginanjar nampaknya berbeda. Seperti pada hal. 381, penulis berangkat dari aspek ihsan, kemudian turun ke aspek iman dan terakhir Islam. Kemudian secara sistematis disusunlah rangka bangun ESQ Model 165.

Dalam pemikiran Cak Nur, tahap ihsan merupakan pencapaian dari seluruh proses keberislaman dan keberimanan. Sedangkan dalam pemikiran Ary Ginanjar, kerangka ihsan justru menjadi titik berangkat. Atau dalam bahasa lain, Ary Ginanjar berangkat dari tahap ma’rifat, menuju thariqat dan barulah syariat.

Implikasi perbedaan paradigma tersebut akan terlihat lebih jelas pada motif dari sebuah tindakan atau kerja. Gagasan Ary Ginanjar lebih tertuju bagaimana “mengakhiratkan bumi”, sedangkan gagasan Cak Nur, lebih menyoal bagaimana “membumikan akhirat”. Gagasan Ary Ginanjar berpretensi mensublimasikan kerja-kerja manusia di Bumi sebagai kepentingan akhirat. Sedangkan Cak Nur bagaimana merealisasikan ideal-ideal akhirat dalam kehidupan di Bumi, mengingat verifikasi dari keihsanan seseorang terletak pada hubungan horizontal manusia di muka Bumi. Hal ini diperkuat dengan satu hadist yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad diutus dalam rangka menyempurnakan akhlak yang mulia.

Perbedaan paradigma tersebut semakin terlihat jelas ketika menyentuh aspek-aspek kemanusiaan-kemasyarakatan. Dengan gagasan “membumikan akhirat” tentu saja, masalah kemanusiaan-kemasyarakatan akan memperoleh perhatian yang besar. Misal, bagaimana Islam turut serta memberantas korupsi, mengentaskan kemiskinan, dan isu-isu kemanusiaan-kemasyarakatan lainnya.

Berbeda dengan itu, gagasan “mengakhiratkan bumi” lebih nampak sebagai proses eskapis (pelarian) dari kehidupan di dunia. Misal, dalam bukunya Ary Ginanjar sedikit atau kurang menyinggung bagaimana nasib para karyawan yang gajinya di bawah UMR atau standar Kebutuhan Layak Hidup (KLH). Baginya, yang lebih penting si karyawan tersebut bekerja dengan sungguh-sungguh dan diniatkan sebagai ibadah kepada Allah. Masalah gaji yang kurang akan dengan sendirinya terkompensasi pada motif-motif keakhiratan misal dalam bentuk pahala, surga, dan lain sebagainya.

Dalam analisis lain, sebenarnya kecenderungan yang dibangun Ary Ginanjar paralel dengan temuan Saeful Mujani terkait masalah alienasi Islamis. Alienasi Islamis merupakan modus dimana individu menghilangkan kepentingan dirinya sebagai manusia nyata dan mensublimasikan kepentingan tersebut pada wilayah keakhiratan dengan berbagai macam bentuk kompensasi sebagai reward-nya.

Sehingga bisa kita katakan sebenarnya gagasan Ary Ginanjar lebih dekat ke arah tasawuf klasik yang memaknai zuhud sebagai melarikan diri dari kehidupan dunia dan mengarahkan seluruh tindakannya ke dimensi spiritual. Berbeda dengan itu, gagasan Cak Nur lebih mendekati ke pola tasawuf modern yang tidak escape from the problem, melainkan dealing with the problem dengan jalan merealisasikan atau mentransformasikan nilai-nilai luhur Islam dalam kehidupan modern sekarang ini.

Selain perbedaan paradigma itu, nampaknya Ary Ginanjar kurang teliti dalam membangun gagasan besarnya, misal, terlihat pada hal.101. Ia menulis, “Beberapa jenis literatur yang telah saya baca, begitu menekankan pentingnya skill pembentuk kepribadian sebagai penuntun kesuksesan. Literatur-literatur tersebut bertutur tentang keberhasilan seseorang yang banyak ditentukan oleh teknik-teknik seperti: teknik membuat orang lain senang dengan cara memberi senyuman; orientasi pada minat orang lain; pura-pura mendengar saat orang lain berbicara; sering menyebut dan mengingat nama orang lain, dan masih banyak lagi. Pada prinsipnya saya merasa semua teori sebatas menyentuh permukaan, namun tidak mampu menerobos ke akar. Dalam artian, baru sebatas kulit dan cenderung basa-basi. Akibatnya, menghasilkan orang yang berprinsip semata-mata penghargaan, namun pada saat kehilangan penghargaan tersebut, ia menjadi rapuh. Celakanya, seringkali literatur seperti itu menjadi sebuah mahzab yang melahirkan pengikut fanatik. Contoh: Karl Marx dengan Marxismenya; pemikiran Freud dengan psikoanalisnya; atau Darwin dengan teori evolusinya.”

Dari kutipan panjang satu paragraf tersebut terlihat jelas kalau Ary Ginanjar sama sekali kurang memahami, misal Marxisme atau lainnya. Mengingat, masalah yang disampaikan Ary Ginanjar, seperti teknik membuat orang lain senang dengan cara memberi senyuman; orientasi pada minat orang lain, dan sebagainya, bukan berasal dari tradisi filsafat Jerman, melainkan filsafat Amerika yang sifatnya pragmatis. Kita akan temukan banyaknya buku-buku yang menawarkan tips-tips (how to) untuk menjalani aktivitas sehari-hari, misal; menjadi pribadi yang tangguh, menjadi pemimpin yang efektif, dan lain sebagainya, yang ditulis oleh orang Amerika atau sekurang-kurangnya pengikut aliran pragmatisme.

Di lain sisi, akar filsafat Marxisme, misal mewujud pada aliran Madzhab Frankfurt jelas-jelas mengkritik tajam kecenderungan manusia atau individu yang bernalar instrumental seperti pada kasus di atas. Nalar instrumental (rasionalitas instrumental – bertujuan) inilah yang pada dasarnya membuat interaksi manusia lebih didasari kepentingan dan jauh dari ketulusan. Sehingga, basa-basi atau sebatas permukaan, dalam cara pandang instrumental menjadi sah.

Terlepas dari keseluruhan isi buku atau gagasan besar Ary Ginanjar, narasi panjang pada hal. 101 tentu saja bukan pendapat seorang profesional yang menggeluti bidang kajian tertentu. Pendapat itu bukan sekedar common sense, bahkan salah. Dan ironisnya, beberapa paradigma atau pandangan yang ia kritik, justru ia masukan dalam pembahasan bukunya secara panjang-lebar, baik sebagai contoh, legitimasi teoritik, dan sebagainya. Cara sederhana, lihat saja pada daftar pustaka, beberapa nama penulis dari tradisi filsafat pragmatisme ia rujuk sebagai acuan.[]
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

1 comments :

Rizky mengatakan...

mas firdaus.. semakin nampak jelas anda memandang ESQ secara pasial...

sebenarnya saya bisa tanggapi lengkap, tapi saya rasa semua tanggapan saya itu juga akan anda dapatkan bila anda dengan KERENDAHAN HATI berkenan untuk mengikuti training

oke lah, bukan karena ingin ilmunya, tapi setidaknya sebagai landasan kita berdialog selanjutnya

satu point yang ingin saya tangapi adalah soal mahalnya training melebihi biaya haji. ada dua hal : training adalah kegiatan pengembangan diri, dan haji adalah kegiatan ritual religius itu berbeda. dan kedua... saya ikut training 500.000, dan setiap orang yang sudah pernah ikut training diperbolehkan mengikuti trainig lagi, bedialog dengan trainer, berdialog dengan sesama alumni, masuk ke ruang training secara GRATIS. saya sudah ikut training setelah training pertama tahun 2005 lalu lebih dari 100 kali... anda bisa hitung... berpaa biaya ikut training saya 500.000 dibagi 100... ya 5.000 rupiah saja... dengan uang segitu saya dapat 2 kali makan dan 4 kali snack....

mas firdaus... saya tidak mau melanjutkan diskusi kita sebelum anda mendasarkan tuduhan dan persepsi anda yang lengkap... silakan hubungi saya di 085647675165... saya daftarkan anda ikut training ESQ reguler 14 di gedung sumarjito 28-29 november besok... anda tidak perlu membayar apa-apa, cukup saya minta alamat kemana tanda pendaftaran ini saya berikan kepada anda...

Demi Allah, diskusi ini kosong tanpa dasar yang lengkap... ikutlah, kalau memang motivasi anda ikut tidak mau sebagai peserta pelatihan, maka ikutlah dengan motivasi untuk melengkapi literatur sebagai bahan diskusi dengan saya selanjutnya

perjuangan ESQ mewujudkan indonesia cemerlang tidak berhenti dengan kritik macam apapun... saat ini, sedang gencarnya forum silaturahmi mahasiswa dan gerakan pemuda alumni ESQ menyatukan mahasiswa dan pemuda se Indonesia mewujudkan visi indonesia emas,indonesia yang berakhlak... upaya mulia yang perlu kita dukung, bukan kita tentang (kecuali denan landasan penentangan yang jelas)