
Oleh: Firdaus Putra A.
Kadang saya geli sendiri menyaksikan sekelompok kader ormas tertentu yang sedang “mencerahkan” mahasiswa baru (Maba) melalui diskusi. Pasalnya, para kader itu seakan-akan punya hak untuk bertanya masalah apapun, misal, “Mengapa kamu melanjutkan kuliah?”. Biasanya pertanyaan itu akan dijawab secara spontan oleh Maba, “Ya untuk kerja”. Persoalannya, jawaban itu biasanya dikonfrontir ulang dengan pertanyaan lain, yang intinya mengarahkan kalau jawaban si Maba kurang mencukupi.
Beberapa kali saya menyaksikan peristiwa diskusi seperti itu. Saya lebih baik diam, mengingat si Maba terlihat sudah terengah-engah dengan berbagai pertanyaan dan pernyataan filosofis yang dilontarkan para kader. Sampai-sampai, si Maba merasa tak lagi nyaman di forum orbolan atau diskusi itu. Si Maba bilang, “Saya jadi takut.” Tentunya, lontaran spontan ini harus kita tangkap secara cerdas, kalau secara psikologis pertanyaan juga pernyataan kita yang kita ajukan mungkin terlalu masuk ke dalam ruang privat Maba bersangkutan.
Bisa jadi si Maba, alih-alih seperti sedang diajak diskusi, justru ia terlihat sedang diinterogasi. Ia nampak sedang diping-pong ke sana ke mari untuk memeras otak agar menemukan jawaban “benar” agar si kader puas. Atau lebih ekstrem, praktik semacam ini tak ubahnya seperti brainwashing yang secara sistematis mengarahkan Maba untuk menjawab pertanyaan dengan jawaban-jawaban yang telah tersedia.
Selain geli, sebenarnya saya merasa jengah dengan cara pemberdayaan seperti itu. Karena, sejatinya klaim egaliter atau kesetaraan sudah diberangus habis dengan berbagai sistematisasi pertanyaan dan jawaban. Tidak ada kesetaraan di forum semacam itu, yang ada hanyalah hegemoni bahkan dominasi kader terhadap si Maba.
Apa yang kurang dari proses pemberdayaan seperti itu adalah spontanitas. Bisa jadi karena dalam struktur kesadaran para kader sudah tertanam secara kuat misi yang harus ia sebarkan. Jadilah para kader sebagai agen-agen misionaris yang sedang mendendangkan lagu-lagu ideologis organisasinya.
Hilangnya spontanitas atau ketulusan dalam obrolan atau diskusi mungkin berangkat dari nalar instrumental yang kadung mendaging. Kader ormas itu sepertinya kurang mampu menangkap bahwa logika dunia kehidupan tak sekedar pemenuhan perjuangan. Dunia kehidupan, sejatinya membutuhkan sisi-sisi lain yang sifatnya tidak hitam-putih. Dalam dunia kehidupan yang riil, individu membutuhkan obrolan ringan atau santai, kadang serius, kadang candaan, kadang main-main, kadang keisengan semata, atau bahkan tindakan yang sangat serius.
Dalam dunia kehidupan, tidak ada individu yang hanya mengejar satu sisi kehidupan dan meninggalkan yang lain. Atau boleh jadi, para kader sudah meninggalkan sisi kehidupan dirinya yang lain dan kemudian meleburkan atau menghancurkan dirinya di bawah panji-panji suci perjuangan. Kalau seperti ini, bukankah itu yang namanya alienasi?
Selain praktik misionaris, saya juga jengah dengan modus-modus propagandis. Seperti praktik misionaris, di sana juga tak terlihat spontanitas suatu tindak komunikatif. Bahan pembicaraan, obrolan, atau diskusi, bagi para propagandis biasanya hanya berkutat dari isu satu ke isu sosial yang lain. Tidak ada suatu momen dimana kita berbicara tentang, misal, asyiknya berenang, enaknya makan jagung bakar, kenangan masa SMA, dan sebagainya. Bisa jadi topik-topik pembicaraan seperti itu dianggap akan menyia-nyiakan waktu belaka dan tentu saja, tidak penting lantaran tidak revolusioner dan bla bla bla.
Saya teringat cerita Goenawan Mohamad ketika diwawancara masa-masa mudanya. Bagi GM dan teman seangkatannya yang lain, perjuangan bukanlah hal yang melulu serius. Pasalnya, over serius hanya akan membuat kita frustrasi manakala ideal-ideal, cita-cita atau misi-misi yang kita targetkan tidak pernah berhasil. Ya, hiduplah sebagaimana “orang normal” lainnya tanpa harus kehilangan sisi “ketaknormalan” kita yang lain.
Dalam landscape pemberdayaan sosial, saya justru lebih nyaman dengan adagium yang dibangun Gus Dur, “Ngono yo ngono, tapi mbok yao ojo ngono”, terjemahan bebasnya, “Begitu ya begitu tapi ya jangan begitu”. Kalimat tersebut seolah-olah paradoks atau nyaris mengalami contradictio in terminis. Kalau kita perhatikan, kalimat paradoks tersebut mengandung makna tentang pentingnya “nilai ambang batas”. Dengan mengetahui “ambang batas”, maka sebagai pegiat atau aktivis sosial, alangkah lebih tepat bilamana kita tidak berlebihan dalam mengerjakan sesuatu, termasuk dalam berjuang.
Melebih-lebihkan, selain membuat kita nampak “tak normal”, orang-orang kebanyakan yang “normal” justru akan menjauhi kita. Sekurang-kurangnya, misal, topik pembicaraan yang kita angkat tidaklah seksi dan membuat orang lain bosan. Atau misal, orang akan mengira kita overacting dan tengah mendramatisasi keadaan. Lebih parah lagi kalau kita justru dikira obsesif bahkan hiperactive.
Selain mengenali “ambang batas”, saya lebih nyaman ketika memeluk adagium, “Manakala suatu pekerjaan tak bisa dikerjakan sepenuhnya (100%), maka jangan tinggalkan pekerjaan itu, kerjakanlah semampunya”. Adagium ini juga masih memuat prinsip “ambang batas” seperti di atas. Hanya saja, adagium ini lebih dalam konteks rencana dan realisasi suatu tindakan. Misal, bilamana kita terlalu letih untuk menulis 20 halaman, maka janganlah ditinggal, akan tetapi, tulislah semampunya meski hanya dua sampai lima halaman.
Menginsyafi adagium ini cara pandang kita akan lebih soft dan jauh dari mode-mode perfeksionisme. Perfeksionisme, selain menekan diri sendiri, ia juga cara pandang yang sebenarnya kurang kritis—dalam makna Emanuel Subangun, yakni ketika kita tidak mampu mengetahui tapal batas diri kita sendiri. Selain itu, hasrat perfeksionisme tak ubahnya nalar instrumental yang menghinggapi diri sendiri, yang tentu saja menjadikan diri (subyek) menjadi obyek.
Poin inti dari tulisan ini yakni, bagaimana caranya agar kita tetap terlibat dalam kerja-kerja sosial dengan cara nyaman, bisa dinikmati, dan tentu saja, bisa kita maknai, lebih-lebih bagi diri sendiri. Bilamana tidak, kita hanya akan terkungkung dalam kerangkeng besi nalar instrumental yang membuat kita menjadi robot-robot dengan baterai ideologi dan pelumas jargon-jargon yang memabukkan. []
Dimuat di http://we-press.com
1 comments :
hahaha..sepakat!! seperti yang sudah kita bicarakan kemarin,,mereka sebenarnya lebih disorientasi daripada aku..
IP aja masi belepotan,ngambil 24 sks masi ngos-ngosan, tp udh berani mempertanyakan niat kuliah bahkan membrainwashing maba.
aku c yakin, dari dulu mpe sekarang pengetahuan di otak mereka akan pergerakan dan perjuangan selalu cuma segitu, g pernah nambah, jadi deh tiap ketemu mereka yg diomongin isu ituuuu mulu. klo gada isu,memble. jadinya malah over acting,permasalahin yg gak-gak.
well,mrk jd lebih kayak orang gada kerjaan yg nyari2 kegiatan dengan cara itu, karena itulah satu-satunya keahlian mereka. hahaha..maap ya yg ngerasa...
Posting Komentar